Wednesday, April 2, 2008

Zainab binti Muhammad bin Abdullah SAW

Zainab telah wafat sejak 15 abad yang lalu, tetapi dia
meninggalkan kenangan terbaik dan menjadi contoh terbaik dalam
hal kesetiaan sebagai isteri, keikhlasan cinta dan ketulusan
iman.

Zainab dilahirkan apda tahun 30 setelah kelahiran Nabi
SAW. Ketika mencapai usia perkawinan, bibinya, Halah binti
Khuwailid, sadara Ummul Mu'minin Khadijah meminang untuk pute-
ranya, Abil Ash bin Rabi'. Semua pihak setuju dan ridha. Zainab
binti Muhammad SAW diboyong ke rumah Abil Ash bin Rabi'. [Ibnu
Sa'ad menyebutkan bahwa Abil Ash mengawini Zainab sebelum Nabi
SAW diangkat menjadi Nabi. Imam Adz-Dzahabi berkata : Ini adalah
jauh. Kemudian dia berkata : Zainab masuk Islam dan hijrah 6
tahun sebelum suaminya masuk Islam.

Khadijah pergi menemui kedua suami isteri yang saling
mencintai itu dan mendoakan agar keduanya mendapatkan berkah.
Kemudian dia melepas kalungnya dan menggantungkannya ke leher
Zainab sebagai hadiah bagi pengantin. Perkawinan itu berlangsung
sebelum turun wahyu kepada ayahnya, Nabi SAW. Ketika cahaya Tuhan-
nya menerangi bumi, Zainab pun beriman. Akan tetapi Abil Ash tidak
mudah meninggalkan agamanya. Maka kedua suami isteri itu merasa
bahwa kekuatan yang lebih kuat dari cinta mereka berusaha memisah-
kan antara keduanya.

Abil Ash tetap membangkang dan berkata :"Tidak akan terca-
pai tujuan di antara kita, wahai Zainab, kecuali engkau tetap dalam
agamamu dan aku tetap dalam agamaku." Adapun Zainab, maka dia ber-
kata :"Sabarlah, wahai suamiku, Engkau tidak halal bagiku selama
engkau tetap memeluk agama itu. Maka serahkan aku kepada ayahku
atau masuklah Islam bersamaku. Zainab tidak akan menjadi milikmu
sejak hari ini, kecuali bila engkau beriman pada agama yang aku
imani."

Pasangan suami isteri itu terdiam sebentar sambil merenung.
Keduanya sadar ketika terdengar suara yang membisikkan kepada kedua-
nya :"Jika agama memisahkan antara kedua jasad mereka, maka cinta
mereka akan tetap ada hingga keduanya dipersatukan oleh sebuah agama."

Hari-hari berlalu dalam keadaan ini setelah Rasulullah SAW
hijrah ke Madinah. Pasukan Quraisy berangkat menuju Badr untuk meme-
rangi Rasul SAW dan di antara mereka terdapat Abil Ash bin Rabi',
bukan untuk menyatakan ke-Islamannya, tetapi untuk memerangi Rasul
SAW. Situasi menjadi kritis ketika Abil Ash jatuh menjadi tawanan
di tangan kaum Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW di Madinah.
Kemudian kaum Quraisy mengutus orang untuk menebus tawanan-tawanannya.
Zainab pun mengirimkan harta dan sebuah kalung untuk menebus tawanan-
nya, Abil Ash bin Rabi'. Ketika Rasulullah SAW melihat kalung itu,
beliau merasa iba hatinya dan bersabda :"Jika kalian tidak keberatan
melepaskan tawanan dan mengembalikan harta miliknya, maka lakukanlah."
Mereka menjawab :"Baiklah, wahai Rasulullah." Kemudian mereka melepas-
kannya dan mengembalikan harta milik Zainab. Di sini Rasulullah SAW
mendapat janji dari Abil Ash untuk membebaskan Zainab dan mengembali-
kannya kepada beliau di Madinah.

Abil Ash kembali ke Mekkah dan di dalam jiwanya terdapat
gambaran yang lebih cemerlang dari isteri yang berbakti dan mulia ini.
Maka dia kembali bukan untuk berterima kasih atas kebaikan Zainab ke-
padanya, akan tetapi untuk berkata keapdanya :"Kembalilah kepada ayah-
mu, wahai Zainab." Dia telah memenuhi janjinya kepada Rasulullah SAW
untuk membiarkan Zainab pergi kepada Nabi SAW. Abil Ash tidak kuasa
menahan tangisnya dan tidak dapat mengantarkannya ke tepi dusun di
luar Mekkah, di mana telah menunggu Zaid bin Haritsah dan seorang laki-
laki Anshor.

Bagaimana dia mampu melepaskan orang yang dicintainya, sedang
dia mengetahui bahwa, itu merupakan perpisahan terakhir selama kekua-
saan agama ini berdiri di antara kedua hati dan masing-masing berpe-
gang pada agamanya. Abil Ash berkata kepada saudaranya, Kinanah bin
Rabi' :"Hai, Saudaraku, tentulah engkau mengetahui kedudukannya dalam
jiwaku. Aku tidak menginginkan seorang wanita Quraisy di sampingnya
dan engkau tentu tahu bahwa aku tidak sanggup meninggalkannya. Maka
temanilah dia menuju tepi dusun, di mana telah menungggu dua utusan
Muhammad. Perlakukanlah dia dengan lemah lembut dalam perjalanan dan
perhatikanlah dia sebagaimana engkau memperhatikan wanita-wanita ter-
pelihara. Lindungilah dia dengan panahmu hingga anak panah yang peng-
habisan."

Di saat Zainab sedang bersiap-siap untuk menyusul ayahnya,
datanglah Hind binti Utbah, menemuinya, dan dia berkata :"Wahai, puteri
Muhammad, aku mendengar bahwa engkau akan menyusul ayahmu !" Zainab
menjawab :"Aku tidak ingin melakukannya." Hind berkata :"Wahai puteri
pamanku, jangan engkau lakukan. Jika engkau mempunyai keperluan akan
suatu barang yang menjadi bekal dalam perjalananmu atau harta yang
hendak engkau sampaikan kepada ayahmu, maka aku akan memenuhi keper-
luanmu. Maka janganlah engkau segan kepadaku, karena sesuatu yang
masuk di antara orang-orang lelaki tidaklah masuk di antara orang-
orang wanita." Zainab berkata : "Demi Allah, aku tidak melihatnya
mengatakan hal itu, kecuali untuk melakukannya, tetapi aku takut
kepadanya. Maka aku menyangkal bahwa aku akan pergi dan aku pun ber-
siap-siap."

Setelah menyelesaikan persiapannya, iparnya, Kinanah bin Rabi'
menyerahkan kepada Zainab seekor unta, lalu dinaikinya. Kinanah meng-
ambil busur dan anak panahnya. Kemudian dia keluar membawa Zainab di
waktu siang dan Zainab duduk di dalam pelangkinnya, sementara Kinanah
menuntun untanya. Akan tetapi, apakah Quraisy membiarkannya keluar
setelah mereka mengalami kekalahan di Badr. Bagaimana dia boleh keluar
sementara orang-orang melihat dan mendengarnya ?

Tidak...sekali lagi tidak ! Banyak orang laki-laki Quraisy
telah membicarakan hal itu. Maka keluarlah mereka untuk mencarinya
hingga mereka berhasil menyusul di Dzi Thuwa. Yang pertama kali me-
nemukannya adalah Habbar bin Aswad bin Muththalib dan Nafi' bin Abdul
Qais. Habbar menakutinya dengan tombak. Di saat itu Zainab berada di
dalam pelangkinnya dan dia sedang dalam keadaan hamil. Ketika pulang,
dia mengalami keguguran kandungannya.

Iparnya marah dan berkata kepada para penyerang :"Demi Allah,
tidak seorang pun yang mendekat kepadaku, melainkan aku akan memanah-
nya." Maka orang-orang bubar meninggalkannya. Abu Sufyan bersama rom-
bongan Quraisy datang kepadanya dan berkata :"Hai, orang laki-laki,
tahanlah panahmu hingga aku berbicara kepadamu." Maka Kinanah menahan
panahnya. Abu Sufyan datang menghampirinya dan berkata :"Tindakanmu
tidak tepat. Engkau keluar membawa wanita secara terang-terangan di
hadapan orang banyak. Sesungguhnya hal itu menunjukkan kehinaan yang
menimpa kita akibat musibah dan bencana yang telah kita alami sebelum-
nya. Sesungguhnya hal itu menunjukkan kelemahan kita. Demi umurku,
kami tidak perlu mencegahnya untuk pergi kepada ayahnya. Kami tidak
ingin membalas dendam, tetapi kembalikan wanita itu."

Tatkala suara sudah reda, Kinanah membawa Zainab pada waktu
malam, lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan temannya.
Keduanya pergi mengantarkan Zainab kepada Rasulullah SAW. Suami isteri
jadi berpisah. Tidak ada jalan untuk bertemu. Abil Ash tinggal di Makkah
menyendiri dengan pikiran kacau dan hati terluka. Zainab pun tinggal di
Madinah dengan badan yang sakit dan hati yang lemah. Kalau saja bukan
karena iman dan takwa yang menguatkan tekadnya, tentu dia lekas mati dan
tidak dapat bertemu.

Tahun demi tahun berlalu, Abil Ash keluar bersama kafilah
dagangnya menuju Syam. Dalam perjalanan pulang dia berjumpa pasukan
Rasulullah SAW yang berhasil merampas hartanya, akan tetapi dia bisa
lolos. Dia telah kehilangan hartanya dan harta titipan orang banyak.
Abil Ash tidak dapat mengembalikan barang-barang titipan itu kepada
para pemiliknya. Maka apa yang harus dilakukannya ?

Dia teringat Zainab yang memberinya imbalan berupa cinta dan
kesetiaan. Maka Abil Ash memasuki Madinah pada waktu malam dan mohon
kepada Zainab agar melindungi dan membantunya untuk mengembalikan
hartanya. Maka Zainab pun melindunginya. Orang-orang berlari ke masjid
Rasulullah SAW, bertakbir bersama kaum Muslimin. Tiba-tiba terdengar
suara teriakan di belakang dinding :"Hai, orang-orang, aku telah me-
lindungi Abil Ash bin Rabi'. Dia dalam lindungan dan jaminanku." Ter-
nyata, Zainablah yang berseru itu.

Rasulullah SAW menyelesaikan shalatnya, lalu beliau menemui
orang banyak dan bersabda :"Wahai, orang-orang, apakah kalian mende-
ngar apa yang aku dengar ? Sesungguhnya serendah-rendah orang Muslim
adalah dapat memberi perlindungan." Kemudian beliau masuk menemui
puterinya dan berbicara kepadanya, Nabi SAW berpesan :"Wahai, puteri-
ku, muliakanlah tempatnya dan jangan sampai dia lolos kepadamu,
karena engkau tidak halal baginya selama dia masih musyrik." Nabi SAW
terkesan melihat kesetiaan puterinya kepada suaminya yang ditinggalkan
dan dia putuskan hubungan syahwat dengannya karena perintah Allah SWT.

Di samping itu, Zainab pun masih tetap memberinya kebaktian,
kesetiaan dan pertolongan : yaitu kebaktian sebagai wanita muslim,
kesetiaan sebagai teman dan pertolongan sebagai manusia. Abil Ash
mendapatkan dari Nabi SAW apa yang didengar dan diketahuinya, sehingga
dia menyembunyikan dalam hatinya harapan kepada Allah. Kemudian, Nabi
SAW mengutus orang kepada pasukan yang merampas harta Abil Ash. Beliau
berkata :"Sesungguhnya kalian telah mengetahui kedudukan orang ini
terhadap kami. Kalian telah merampas hartanya. Jika kalian berbuat baik
kepadanya dan mengembalikan hartanya, maka kami menyukai hal itu. Jika
kalian menolak, maka itu adalah fai' dari Allah yang diberikan-Nya
kepada kalian dan kalian lebih berhak atasnya."

Mereka berkata :"Kami akan mengembalikannya kepada Abil Ash."
Beberapa orang di antara mereka berkata :"Hai, Abil Ash, maukah engkau
masuk Islam dan mengambil harta benda ini, karena semua ini milik
orang-orang musyrik ?" Abil Ash menjawab :"Sungguh buruk awal Islamku,
jika aku mengkhianati amanatku."

Maka mereka mengembalikan harta itu kepadanya demi kemuliaan
Rasulullah SAW dan sebagai penghormatan kepada Zainab. Laki-laki itu
pun kembali ke Mekkah dengan membawa hartanya dan harta orang banyak.
Jiwanya dipenuhi berbagai makna dan di antara kedua matanya terlihat
gambaran yang tidak meninggalkannya.

Setelah mengembalikan harta kepada pemiliknya masing-masing,
Abil Ash berdiri dan berkata :"Wahai, kaum Quraisy, apakah masih ada
harta seseorang di antara kalian padaku ?" Mereka menjawab :"Tidak.
Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Kami telah mendapati kamu
seorang yang jujur dan mulia." Abil Ash berkata :"Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Demi Allah, tiada yang menghalangi aku masuk Islam di hadapannya, ke-
cuali karena aku khawatir mereka menyangka aku ingin makan harta kalian.
Setelah Allah menyampaikannya kepada kalian dan aku selesai membagikan-
nya, maka aku masuk Islam."

Asy-Sya'bi berkata :"Zainab masuk Islam dan hijrah, kemudian
Abil Ash masuk Islam sesudah itu, dan Islam tidak memisahkan antara
keduanya." [Adz-Dzahabi, "Siyar A'laamin Nubala'. Demikian pula kata
Qatadah : Dia berkata :"Kemudian diturunkan surah Baro'ah sesudah itu.
Maka, jika ada seorang wanita masuk Islam sebelum suaminya, dia hanya
boleh mengawininya dengan nikah baru."]

Abil Ash keluar dari Mekkah, hijrah menuju Madinah dengan men-
dapat petunjuk iman dan keyakinan. Suami isteri yang saling mencintai
bertemu untuk kedua kalinya setelah lama berpisah. Akan tetapi isteri
yang setia itu telah menunaikan kewajiban dan menyelesaikan urusan
dunianya ketika menyadarkan laki-laki yang dicintainya serta memenuhi
hak suaminya sesuai dengan kadar cintanya kepada suami. Tidak lama
setelah pertemuan itu, Zainab meninggal dunia.

Zainab meninggal dunia pada tahun 8 Hijriah dan Rasulullah SAW
sangat sedih atas kepergiannya. Zainab meninggal dunia setelah mening-
galkan kenangan terbaik. Dia telah menjadi contoh terbaik dalam hal
kesetiaan isteri, keikhlasan cinta dan kebenaran iman. Tidaklah meng-
herankan apabila suaminya berkata dalam suatu perjalanannya ke Syam :
"Puteri Al-Amiin, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan setiap
suami akan memuji sesuai dengan yang diketahuinya."

harumnya Masyitah

kehebatan iman Masyitah, tukang sisir rambut anak
Firaun.
Firaun menjadi sombong dan angkuh kerana kebesaran empayarnya dan kehebatan
pengaruhnya di kalangan rakyat Mesir. Dia mengaku sebagai tuhan yang agung
dan memusuhi sesiapa saja yang bertuhankan selain dirinya. Malahan dia akan
membunuh mereka yang tidak mengaku Firaun sebagai tuhan.

Masyita walaupun bekerja di istana Firaun, namun di dalam hati kecilnya
tetap bertuhankan Allah yang Maha Berkuasa dan Dialah juga yang menjadikan
segala makhluk di muka bumi ini termasuk Firaun yang mengaku dirinya sebagai
Tuhan. Kepercayaan ini dirahsiakannya supaya tidak diketahui oleh Firaun
dan sekutunya.

Pada suatu hari, sedang dia menyisir rambut anak Firaun, sikat di tangannya
terjatuh. Masyita terlatah dan berkata "Mampus Firaun! " Apabila anak Firaun
mendengar kata-kata penghinaan terhadap bapanya, dia berkata, "Kenapa kau
berkata begitu terhadap bapaku? Adakah tuhan lain selain bapaku?"

"Memang benar! Tuhanku dan tuhan bapamu ialah Allah." Mendengar kata-kata
itu, anak Firaun menjadi marah. "Baik kamu bertaubat, kalau tidak aku akan
beritahu bapaku." Masyita bertegas dan mengatakan, "Pergilah kau beritahu
bapa kau. Aku tetap dengan pendirianku bahawa tuhan yang sebenarnya ialah
Allah."

Sebaik saja Firaun diberitahu oleh anaknya tentang Masyita, dia menjadi
murka dan memanggil Masyita. Dia bertanya sama ada benar apa yang dikatakan
oleh anaknya itu. Masyita tetap mengatakan Tuhannya ialah Allah. Firaun
mengugut untuk membunuh Masyita dan keluarganya sekiranya dia tidak mengubah
pendiriannya.

Keesokannya keluarga Masyita dibawa ke satu tempat lapang, berhadapan dengan
sebuah kawah besar yang berisi dengan minyak yang sangat panas. Firaun
hendak memasukkan kesemua keluarga Masyita termasuk anaknya yang masih kecil
ke dalam minyak panas sekiranya Masyita tidak mengaku Firaun sebagai tuhan.
Keimanan Masyita tidak luntur meskipun berhadapan dengan ancaman maut.

Melihatkan iman Masyita yang tidak berganjak, Firaun menyuruh askarnya
mencampakkan keluarga Masyita seorang demi seorang ke dalam kawah yang besar
itu. Apabila sampai giliran anaknya yang kecil, perasaan Masyita menjadi
belas dan sebak. Hati siapa tidak sedih melihatkan anak yang disayangi akan
dilontar ke dalam kawah yang membuak-buak dengan minyak panas. Masyita
meminta supaya dia dicampakkan dulu sebagai ganti kepada anaknya. Tiba-tiba
dengan kuasa Tuhan, anaknya yang kecil itu membuka mulut dan berkata, "Ibu,
jangan bersedih. Teruskan! Biarkan saya dicampak ke dalam kawah itu."
Masyita dan orang-orang di sekeliling terperanjat melihat seorang bayi boleh
berkata-kata.

Mendengar kata-kata anaknya itu, Masyita menjadi semakin yakin dan tabah.
Dia menghulurkan anaknya untuk dicampakkan ke dalam kawah. Tanpa belas
kesihan askar Firaun terus melontarkan anak Masyita ke dalam minyak panas.
Selepas itu barulah Masyita dibawa ke tepi kawah yang panas itu lalu
dicampakkan ke dalamnya.

Demikianlah hebatnya Masyita mempertahankan kebenaran aqidah sehingga dia
dan keluarganya terkorban dibunuh oleh Firaun. Keberanian seorang wanita
memperjuangkan kebenaran dan keimanan ini dirakam dan diingati setiap tahun
oleh seluruh manusia. Dalam peristiwa Israk Mikraj, Nabi sampai di satu
tempat yang sangat harum. Malaikat Jibril menerangkan bahawa tempat itu
ialah tempat bersemadinya Masyita dan keluarganya.

Hafshah binti Umar bin Khattab r.a

Hafshah binti Umar Bin Khattab adalah putri seorang laki-laki-laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah SWT dan kaum muslimin, Umar Bin Khattab r.a. Sayyidah Hafshah r.a dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khattab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain. Kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah SWT , pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar.

Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbersit niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang sholeh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi kerumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikitpun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi pada saat itu, Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa. Kemudian dia menemui Rasulullah SAW dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya itu. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah SAW bersabda, " Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah." Disinilah Umar mengetahui bahwa Rasulullah SAW yang akan meminang putrinya.

Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah SAW untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah SAW. Abu Bakar berkata, " Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah SAW telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin menyebut rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah SAW membiarkannya tentu akulah yang akan menikahi Hafshah." Umar baru saja memahami mengapa Abu Bakar menolak putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud mempersunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah SAW. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini ( pemilik dua cahaya ).

Di rumah Rasulullah SAW, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah dan Aisyah. Secara manusiawi Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya. Lain halnya dengan Saudah binti Zum`ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khattab, sahabat Rasulullah SAW yang terhormat.

Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya, karena Umar mengetahui bahwa kedudukan Aisyah sangat tinggi dihati Rasulullah SAW juga yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah SAW. Selain itu Umar juga mengingatkan Hafshah agar menjaga tindak tanduknya sehingga diantara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi memang sangat manusiawi jika diantara mereka tetap saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari perasaan cemburu. Salah satu contohnya adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah datang menemui Nabi SAW dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah SAW menyuruhnya masuk kedalam rumah Hafshah yang ketika itu sedang pergi kerumah ayahnya, dia melihat tabir kamar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah SAW dan Mariyah berada didalamnya. Melihat kejadian itu amarah Hafshah meledak, Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah SAW berusaha membujuk dan meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak meminta maaf pada Hafshah, dan Nabi SAW meminta agar Hafshah merahasiakan kejadian tersebut.

Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah SAW merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah SAW setelah Siti Khadijah r.a. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah SAW telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui Rasulullah SAW sehingga beliau sangat marah, Rasulullah SAW bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah SAW pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah SAW.Umar bin Khattab mengingatkan kembali putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah SAW dan senantiasa mentaati dan mencari keridhaan beliau. Hafshah memperbanyak ibadah terutama puasa dan sholat malam. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga Rasulullah SAW wafat.

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al Qur`an ditangannya setelah mengalami penghapusan. Dialah istri Nabi SAW yang pertama kali menyimpan Al Qur`an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah Kitab yang sangat agung. Mushaf asli Al Qur`an itu berada dirumah Hafshah hingga dia meninggal.

Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke-47 pada masa pemerintahan Mu`awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi`, bersebelahan dengan kuburan-kuburan istri-istri Nabi SAW yang lain.

Ummu Sulaim perisai Rasulullah

Rombongan muhajir ke Habasyah membawa 11 orang wanita. Ini
berarti bahwa wanita Muslim adalah bagian dari da'wah dan jihad di
jalan Allah SWT. Mereka tinggalkan kesenangan hidup yang hanya
sebentar, berupa harta, anak dan keluarga serta negeri demi Allah.
Mereka tinggalkan tanah airnya yang mahal dan berangkat menuju Ha-
basyah, sebuah negeri yang jauh dengan penduduk yang berlainan
bangsa, warna dan suku, demi membela aqidah yang diimaninya.

Tatkala fajar da'wah memancar dari Mekkah, maka muhajir
pertama bukanlah dua orang laki-laki, tetapi seorang laki-laki dan
seorang wanita. Kedua muhajir ini adalah Utsman bin Affan dan isteri-
nya, Ruqayyah binti Muhammad SAW. Ruqayyah lahir sesudah kakaknya,
Zainab. Sesudah kedua orang itu, muncullah Ummu Kultsum yang menemani
dalam hidupnya setelah Zainab menikah.

Ketika keduanya mendekati usia perkawinan, Abu Thalib meminang
mereka berdua untuk kedua putera Abu Lahab. Allah SWT menghendaki per-
kawinan ini tidak berlangsung lama, karena melihat sikap Abu Lahab
terhadap Islam. Akan tetapi Allah SWT menampilkan Utsman bin Affan ke-
pada kedua puteri itu. Maka dia pun menikah dengan Ruqayyah dan hijrah
bersamanya ke Habasyah. Ummu Kultsum tetap tinggal bersama ayah dan
ibunya menunggu sesuatu yang ditakdirkan baginya.

Imam Adz-Dzahabi berkata :"Ruqayyah hijrah ke Habasyah bersama
Utsman dua kali. Nabi SAW bersabda :"Sesungguhnya kedua orang itu (Uts-
man dan Ruqayyah) adalah orang-orang yang pertama hijrah kepada Allah
sesudah Luth."[ "Siyar A'laamin Nubala'"; juz 2, halaman 78] Anas bin
Malik r.a. berkata : Utsman bin Affan keluar bersama isterinya, Ruqay-
yah, puteri Rasulullah SAW menuju negeri Habasyah. Lama Rasulullah SAW
tidak mendengar kabar kedua orang itu. Kemudian datang seorang wanita
Quraisy berkata :"Wahai, Muhammad, aku telah melihat menantumu bersama
isterinya." Nabi SAW bertanya :"Bagaimanakah keadaan mereka ketika kau
lihat ?"

Wanita itu menjawab :"Dia telah membawa isterinya ke atas se-
ekor keledai yang berjalan pelahan, sementara ia memegang kendalinya."
Maka Rasulullah SAW bersabda :"Allah menemani keduanya. Sesungguhnya
Utsman adalah laki-laki pertama yang hijrah membawa isterinya, sesu-
dah Luth a.s."

Ruqayyah kembali bersama Utsman ke Mekkah dan mendapati ibunya
telah berpulang kepada Ar-Rafiiqil A'laa. Kemudian kaum Muslimin pindah
dari Mekkah ke Madinah semuanya. Ruqayyah juga ikut hijrah bersama su-
aminya, Utsman, sehingga dia menjadi wanita yang hijrah dua kali.

Penyebab hijrah ke Habasyah adalah takut fitnah dan menyelamat-
kan agama mereka menuju Allah. Bukan menyebarkan agama Islam, karena
negeri Habasyah pada waktu itu menganut agama Masehi dan agama Masehi
di sana tidak akan menerima agama baru yang menyainginya, meskipun Ha-
basyah diperintah oleh raja yang tidak menganiaya seseorang. Hijrah ke
Habasyah merupakan bagian dari peralihan dan kelanjutan perjuangan,
karena hasil yang diharapkan oleh kaum muhajirin dari hijrah mereka ke
Habasyah adalah menyelamatkan agamanya ke negeri yang memberi ketenang-
an bagi mereka di sana. Di negeri itu mereka tidak mengalami kekerasan
dan gangguan, sampai ketika saudara-saudara mereka di Mekkah ditakdirkan
binasa hingga orang terakhir, membawa panji da'wah sebagai penerus.

Adapun hijrah ke Madinah, maka penyelamatan agama adalah salah
satu sebabnya, tetapi bukan penyebab utama. Penyebab utamanya adalah
perubahan dan kelanjutan perjuangan di mana para muhajirin dapat mendi-
rikan sebuah tanah air tempat hijrah mereka. Selama 13 tahun Islam me-
rupakan agama tanpa tanah air dan rakyat tanpa negara. Hijrah yang me-
rupakan tahap kedua di antara tahap-tahap da'wah adalah tahap perjuang-
an yang paling rumit. Apabila tahap perjuangan ini telah memiliki sifat
petualangan, maka sesungguhnya petualangan itu hanyalah semacam perju-
angan, bahkan macam perjuangan heroik tertinggi. Tahap perjuangan ini
berhasil mendapat kemenangan. Iman mengalahkan kekuatan, roh mengalah-
kan materi dan kebenaran mengalahkan kebathilan. Sesungguhnya kebesaran
dari kemenangan itu sulit digambarkan dan dinilai.

Kebebasan dari ketakutan dan perjuangan menuju keamanan. Kebe-
basan dari perbudakan dan perjuangan menuju kemerdekaan. Kebebasan dari
kehinaan dan perjuangan menuju kemuliaan. Kebebasan dari kesempitan dan
perjuangan menuju kelapangan. Kebebasan dari kelumpuhan dan perjuangan
menuju keaktifan. Kebebasan dari kelemahan dan perjuangan menuju keku-
atan. Dan kebebasan dari ikatan-ikatan bicara dan perjuangan menuju
kebebasan berbicara.

Ruqayyah kembali kepada Tuhannya setelah menderita sakit demam.
Kemudian Rasulullah SAW mengawinkan Utsman dengan Ummu Kultsum. Semoga
Allah SWT merahmati Ruqayyah yang hijrah dua kali dan Utsman yang mem-
punyai dua cahaya, dan semoga Allah SWT membalas keduanya atas jihad
dan kesabarannya dengan sebaik-baik balasan. Amiin yaa Robbal'aalamiin.

Ruqayyah binti Rasulullah SAW, Isteri Utsman

Rombongan muhajir ke Habasyah membawa 11 orang wanita. Ini
berarti bahwa wanita Muslim adalah bagian dari da'wah dan jihad di
jalan Allah SWT. Mereka tinggalkan kesenangan hidup yang hanya
sebentar, berupa harta, anak dan keluarga serta negeri demi Allah.
Mereka tinggalkan tanah airnya yang mahal dan berangkat menuju Ha-
basyah, sebuah negeri yang jauh dengan penduduk yang berlainan
bangsa, warna dan suku, demi membela aqidah yang diimaninya.

Tatkala fajar da'wah memancar dari Mekkah, maka muhajir
pertama bukanlah dua orang laki-laki, tetapi seorang laki-laki dan
seorang wanita. Kedua muhajir ini adalah Utsman bin Affan dan isteri-
nya, Ruqayyah binti Muhammad SAW. Ruqayyah lahir sesudah kakaknya,
Zainab. Sesudah kedua orang itu, muncullah Ummu Kultsum yang menemani
dalam hidupnya setelah Zainab menikah.

Ketika keduanya mendekati usia perkawinan, Abu Thalib meminang
mereka berdua untuk kedua putera Abu Lahab. Allah SWT menghendaki per-
kawinan ini tidak berlangsung lama, karena melihat sikap Abu Lahab
terhadap Islam. Akan tetapi Allah SWT menampilkan Utsman bin Affan ke-
pada kedua puteri itu. Maka dia pun menikah dengan Ruqayyah dan hijrah
bersamanya ke Habasyah. Ummu Kultsum tetap tinggal bersama ayah dan
ibunya menunggu sesuatu yang ditakdirkan baginya.

Imam Adz-Dzahabi berkata :"Ruqayyah hijrah ke Habasyah bersama
Utsman dua kali. Nabi SAW bersabda :"Sesungguhnya kedua orang itu (Uts-
man dan Ruqayyah) adalah orang-orang yang pertama hijrah kepada Allah
sesudah Luth."[ "Siyar A'laamin Nubala'"; juz 2, halaman 78] Anas bin
Malik r.a. berkata : Utsman bin Affan keluar bersama isterinya, Ruqay-
yah, puteri Rasulullah SAW menuju negeri Habasyah. Lama Rasulullah SAW
tidak mendengar kabar kedua orang itu. Kemudian datang seorang wanita
Quraisy berkata :"Wahai, Muhammad, aku telah melihat menantumu bersama
isterinya." Nabi SAW bertanya :"Bagaimanakah keadaan mereka ketika kau
lihat ?"

Wanita itu menjawab :"Dia telah membawa isterinya ke atas se-
ekor keledai yang berjalan pelahan, sementara ia memegang kendalinya."
Maka Rasulullah SAW bersabda :"Allah menemani keduanya. Sesungguhnya
Utsman adalah laki-laki pertama yang hijrah membawa isterinya, sesu-
dah Luth a.s."

Ruqayyah kembali bersama Utsman ke Mekkah dan mendapati ibunya
telah berpulang kepada Ar-Rafiiqil A'laa. Kemudian kaum Muslimin pindah
dari Mekkah ke Madinah semuanya. Ruqayyah juga ikut hijrah bersama su-
aminya, Utsman, sehingga dia menjadi wanita yang hijrah dua kali.

Penyebab hijrah ke Habasyah adalah takut fitnah dan menyelamat-
kan agama mereka menuju Allah. Bukan menyebarkan agama Islam, karena
negeri Habasyah pada waktu itu menganut agama Masehi dan agama Masehi
di sana tidak akan menerima agama baru yang menyainginya, meskipun Ha-
basyah diperintah oleh raja yang tidak menganiaya seseorang. Hijrah ke
Habasyah merupakan bagian dari peralihan dan kelanjutan perjuangan,
karena hasil yang diharapkan oleh kaum muhajirin dari hijrah mereka ke
Habasyah adalah menyelamatkan agamanya ke negeri yang memberi ketenang-
an bagi mereka di sana. Di negeri itu mereka tidak mengalami kekerasan
dan gangguan, sampai ketika saudara-saudara mereka di Mekkah ditakdirkan
binasa hingga orang terakhir, membawa panji da'wah sebagai penerus.

Adapun hijrah ke Madinah, maka penyelamatan agama adalah salah
satu sebabnya, tetapi bukan penyebab utama. Penyebab utamanya adalah
perubahan dan kelanjutan perjuangan di mana para muhajirin dapat mendi-
rikan sebuah tanah air tempat hijrah mereka. Selama 13 tahun Islam me-
rupakan agama tanpa tanah air dan rakyat tanpa negara. Hijrah yang me-
rupakan tahap kedua di antara tahap-tahap da'wah adalah tahap perjuang-
an yang paling rumit. Apabila tahap perjuangan ini telah memiliki sifat
petualangan, maka sesungguhnya petualangan itu hanyalah semacam perju-
angan, bahkan macam perjuangan heroik tertinggi. Tahap perjuangan ini
berhasil mendapat kemenangan. Iman mengalahkan kekuatan, roh mengalah-
kan materi dan kebenaran mengalahkan kebathilan. Sesungguhnya kebesaran
dari kemenangan itu sulit digambarkan dan dinilai.

Kebebasan dari ketakutan dan perjuangan menuju keamanan. Kebe-
basan dari perbudakan dan perjuangan menuju kemerdekaan. Kebebasan dari
kehinaan dan perjuangan menuju kemuliaan. Kebebasan dari kesempitan dan
perjuangan menuju kelapangan. Kebebasan dari kelumpuhan dan perjuangan
menuju keaktifan. Kebebasan dari kelemahan dan perjuangan menuju keku-
atan. Dan kebebasan dari ikatan-ikatan bicara dan perjuangan menuju
kebebasan berbicara.

Ruqayyah kembali kepada Tuhannya setelah menderita sakit demam.
Kemudian Rasulullah SAW mengawinkan Utsman dengan Ummu Kultsum. Semoga
Allah SWT merahmati Ruqayyah yang hijrah dua kali dan Utsman yang mem-
punyai dua cahaya, dan semoga Allah SWT membalas keduanya atas jihad
dan kesabarannya dengan sebaik-baik balasan. Amiin yaa Robbal'aalamiin.

Ummul Mu'minin Saudah binti Zam'ah

Dia adalah wanita pertama yang dinikahi Nabi SAW sesudah
Khadijah r.a. dan dia sendiri yang bersama Nabi SAW selama kurang
lebih 3 tahun sehingga beliau berumah tangga dengan 'Aisyah r.a.

Adalah para sahabat -radhiyallahu 'anhum- memperhatikan
kesendirian Nabi SAW sesudah Khadijah r.a. wafat dan berharap
kiranya beliau menikah, barangkali dalam pernikahan itu ada yang
menghibur kesendiriannya. Akan tetapi, siapa yang berani bicara
kepada beliau soal itu ?

Khaulah binti Hakim maju untuk melakukan tugas itu. Maka
dia berbicara kepada Rasul SAW dan menawarkan 'Aisyah binti Ash-
Shiddiq r.a. namun dia masih kecil. Maka biarlah dia dipinang,
kemudian ditunggu hingga dewasa. Akan tetapi, siapakah yang akan
memperhatikan urusan-urusan Nabi SAW dan melayani putri-putri
serta memenuhi rumah beliau ? Pernikahan dengan 'Aisyah tidak akan
berlangsung sebelum 2 atau 3 tahun lagi. Siapakah gerangan wanita
yang memimpin urusan-urusan Nabi SAW dan memelihara putri-putrinya ?
Dia adalah Saudah binti Zam'ah dari bani Ady bin Najjar.

Rasul SAW mengizinkan Khaulah meminang keduanya. Pertama
Khaulah datang ke rumah Abu Bakar r.a., lalu ke rumah Zam'ah. Dia
menemui puterinya, Saudah, dan berkata : "Kebaikan dan berkah apa
yang dimasukkan Allah kepadamu, wahai Saudah ?" Saudah bertanya
karena tidak tahu maksudnya, "Apakah itu, wahai Khaulah ?" Khaulah
menjawab :"Rasulullah SAW mengutus aku untuk meminangmu." Saudah
berkata dengan suara gemetar, "Aku berharap engkau masuk kepada
ayahku dan menceritakan hal itu kepadanya." Maka terjadi kesepakatan
dan berlangsunglah pernikahan.

Saudah mengalami situasi yang menyebabkan Rasulullah SAW
mengulurkan tangannya yang penyayang untuk menolong masa tua dan
meringankan kekerasan hidup yang dirasakan oleh Saudah. Saudah
telah hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan agama bersama suami,
putra pamannya. Kemudian suaminya meninggal sebagai muhajir dan
Saudah tinggal sendirian. Saudah menjadi janda yang hidup di tanah
perantauan sebelum tiba di Ummul Qura. Rasul SAW telah terkesan
oleh wanita muhajir yang mu'min dan janda itu. Ternyata, Saudah
setuju untuk menikah dengan Rasulullah SAW.

Saudah menjadi ibu rumah tangga di rumah suaminya, Rasul
SAW sampai 'Aisyah r.a. datang ke rumah kenabian. Dia mengetahui
kedudukan 'Aisyah terhadap hati Nabi SAW. Maka dia berikan harinya
kepada 'Aisyah dan melapangkan tempat pertama baginya di dalam
rumah. Saudah berupaya sekuat tenaga untuk mendapatkan keridhoan
pengantin yang masih muda dan menyenangkannya ('Aisyah). Setelah
menginjak masa tua yang dingin, Saudah sangat berharap untuk tetap
menjadi isteri Rasulullah SAW di dunia dan di akhirat serta tidak
diharamkan dari kemuliaan yang besar ini, sekalipun dia berikan
harinya kepada 'Aisyah setelah merasa dia tidak menginginkan apa
yang biasa diinginkan kaum wanita.

Saudah hidup bekerja keras dalam mengurusi rumah kenabian,
sementara hatinya sarat dengan keridhoan dan iman hingga Nabi SAW
pergi menghadap Tuhannya. Saudah wafat dalam masa khilafah Umar
ibnul Khaththab r.a. 'Aisyah r.a. sering menyebut kebaikan dan
memujinya atas kebaikan itu. Dia berkata, "Tidak seorang pun yang
lebih aku sukai dalam dirinya daripada Saudah binti Zam'ah, hanya
saja dia agak keras wataknya." [Al-Istii'aab 4/1867]

Ketika Saudah wafat, Ibnu Abbas sujud. Ditanyakan kepadanya
mengenai hal itu, maka dia menjawab, "Rasulullah SAW bersabda :
"Apabila kamu melihat suatu tanda, maka sujudlah." Dan tanda ketika
wafatnya isteri-isteri Nabi SAW itulah yang menyebabkan dia bersujud.
[Thabaqat Ibnu Sa'ad, Al-Ishaabah oleh Ibnu Hajar dan Usudul Ghaabah
oleh Ibnu Atsiir]

Saudah meriwayatkan lima hadits dari Rasulullah SAW. Di
antaranya satu hadits diriwayatkan dalam Sahihain [Ibnul Jauzil, Al-
Mujtanaa]. Dalam satu riwayat, bahwa Bukhari meriwayatkan dari Saudah
dua hadits. [Al-Maqdisi, Al-Kamaal bii Ma'rifatir Rijaal]

Semoga Allah SWT merahmatinya. Saudah menyukai sedekah dan
berbudi luhur. Dari 'Aisyah r.a. dia berkata : "Bahwa sebagian isteri-
isteri Nabi SAW berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah di antaraa kami
yang paling cepat menyusulmu ?" Nabi SAW menjawab, "Yang terpanjang
tangannya di antara kalian." Kemudian mereka mengambil tongkat untuk
mengukur tangan mereka. Ternyata, Saudah adalah orang yang terpanjang
tangannya di antara mereka. Kemudian kami mengetahui, bahwa maksud
dari panjang tanganya adalah suka sedekah. Saudah memang suka memberi
sedekah dan dia yang paling cepat menyusulnya di antara kami." (H.R.
Syaikhain dan Nasai). Dalam suatu riwayat lain oleh Muslim :"Yang
paling cepat menyusulku di antara kalian adalah yang terpanjang
tangannya di antara kalian." 'Aisyah berkata, "Mereka saling mengukur
siapa di antara mereka yang terpanjang tangannya. Ternyata yang ter-
panjang tangannya di antara kami adalah Zainab, karena dia melakukan
pekerjaan tangan dan mengeluarkan sedekah."

Rabiatul Adawiyyah Al - Basariyyah

Ibubapa Rabia'atul-adawiyyah adalah orang miskin. Hinggakan dalam rumah mereka tidak ada minyak untuk memasang lampu dan tidak ada kain untuk membalut badan beliau.

Beliau ialah anak yang keempat. Ibunya menyuruh ayahnya meminjam minyak dari jiran. tetapi bapa beliau telah membuat keputusan tidak akan meminta kepada sesiapa kecuali kepada Allah. Bapa itu pun pergilah berpura-pura ke rumah jiran dan perlahan-lahan mengetuk pintu rumah itu agar tidak didengar oleh orang dalam rumah itu. Kemudian dia pun pulang dengan tangan kosong. Katanya orang dalam rumah itu tidak mahu membuka pintu. Pada malam itu si bapa bermimpi yang ia bertemu dengan Nabi. Nabi berkata kepadanya, "Anak perempuanmu yang baru lahir itu adalah seorang yang dikasihi Allah dan akan memimpin banyak orang Islam ke jalan yang benar. Kamu hendaklah pergi berjumpa amir Basrah dan beri dia sepucuk surat yang bertulis - kamu hendaklah berselawat kepada Nabi seratus kali tiap-tiap malam dan empat ratus kali tiap-tiap malam Jumaat. Tetapi oleh kerana kamu tidak menmatuhi peraturan pada hari Khamis sudah, maka sebagai dendanya kamu hendaklah membayar kepada pembawa surat ini empat ratus dinar."

Bapa Rabi'atul-adawiyyah pun terus jaga dari tidur dan pergi berjumpa dengan amir tersebut, dengan air mata kesukaan mengalir di pipinya. Amir sungguh berasa gembira membaca surat itu dan faham bahawa beliau ada dalam perhatian Nabi. Amir pun memberi sedekah kepada fakir miskin sebanyak seribu dinar dan dengan gembira memberi bapa Rabi'atul-adawiyyah sebanyak empat ratus dinar. Amir itu meminta supaya bapa Rabi'atul-adawiyyah selalu mengunjungi beliau apabila hendakkan sesuatu kerana beliau sungguh berasa bertuah dengan kedatangan orang yang hampir dengan Allah.

Selepas bapanya meninggal dunia, Basrah dilanda oleh kebuluran.
Rabi'atul-adawiyyah berpisah dari adik-beradiknya. Suatu ketika kafilah yang beliau tumpangi itu telah diserang oleh penyamun. Ketua penyamun itu menangkap Rabi'atul-adawiyyah untuk dijadikan barang rampasan untuk dijual ke pasar sebagai abdi. Maka lepaslah ia ke tangan tuan yang baru.

Suatu hari, tatkala beliau pergi ke satu tempat atas suruhan tuannya, beliau telah dikejar oleh orang jahat. beliau lari. Tetapi malang, kakinya tergelincir dan jatuh. Tangannya patah. Beliau berdoa kepada Allah, "Ya Allah! Aku ini orang yatim dan abdi. Sekarang tanganku pula patah. tetapi aku tidak peduli segala itu asalkan Kau rida denganku.
tetapi nyatakanlah keridaanMu itu padaku." Tatkala itu terdengarlah suatu suara, "Tak mengapa semua penderitaanmu itu. Di hari akhirat kelak kamu akan ditempatkan di peringkat yang tinggi hinggakan Malaikat pun kehairanan melihatmu." Kemudian pergilah ia semula kepada tuannya. Selepas peristiwa itu, tiap-tiap malam ia menghabiskan masa dengan beribadat kepada Allah, selepas melakukan kerja-kerjanya. Beliau berpuasa berhari-hari.

Suatu hari, tuannya terdengar suara rayuan Rabi'atul-adawiyyah di tengah malam yang berdoa kepada Allah : "Tuhanku! Engkau lebih tahu bagaimana aku cenderung benar hendak melakukan perintah-perintahMu dan menghambakan diriku dengan sepenuh jiwa, wahai cahaya mataku.
Jikalau aku bebas, aku habiskan seluruh masa malam dan siang dengan melakukan ibadat kepadaMu. tetapi apa yang boleh aku buat kerana Kau jadikan aku hamba kepada manusia."

Dilihat oleh tuannya itu suatu pelita yang bercahaya terang tergantung di awang-awangan, dalam bilik Rabi'atul-adawiyyah itu, dan cahaya itu meliputi seluruh biliknya. Sebentar itu juga tuannya berasa adalah berdosa jika tidak membebaskan orang yang begitu hampir dengan Tuhannya. sebaliknya tuan itu pula ingin menjadi khadam kepada Rabi'atul-adawiyyah.

Esoknya, Rabi'atul-adawiyyah pun dipanggil oleh tuannya dan diberitahunya tentang keputusannya hendak menjadi khadam itu dan Rabi'atul-adawiyyah bolehlah menjadi tuan rumah atau pun jika ia tidak sudi bolehlah ia meninggalkan rumah itu. Rabi'atul-adawiyyah berkata bahawa ia ingin mengasingkan dirinya dan meninggalkan rumah itu.
Tuannya bersetuju. Rabi'atul-adawiyyah pun pergi.

Suatu masa Rabi'atul-adawiyyah pergi naik haji ke Mekkah. Dibawanya barang-barangnya atas seekor keldai yang telah tua. Keldai itu mati di tengah jalan. Rakan-rakannya bersetuju hendak membawa barang -barangnya itu tetapi beliau enggan kerana katanya dia naik haji bukan di bawah perlindungan sesiapa. Hanya perlindungan Allah S.W.T. Beliau pun tinggal seorang diri di situ. Rabi'atul-adawiyyah terus berdoa, "Oh Tuhan sekalian alam, aku ini keseorangan, lemah dan tidak berdaya.
Engkau juga yang menyuruhku pergi mengunjungi Ka'abah dan sekarang Engkau matikan keldaiku dan membiarkan aku keseorangan di tengah jalan." Serta-merta dengan tidak disangka-sangka keldai itu pun hidup semula.
Diletaknya barang-barangnya di atas keldai itu dan terus menuju Mekkah.
Apabila hampir ke Ka'abah, beliau pun duduk dan berdoa, "Aku ini hanya sekepal tanah dan Ka'abah itu rumah yang kuat.
Maksudku ialah Engkau temui aku sebarang perantaraan." Terdengar suara berkata, "Rabi'atul-adawiyyah, patutkah Aku tunggangbalikkan dunia ini kerana mu agar darah semua makhluk ini direkodkan dalam namamu dalam suratan takdir? Tidakkah kamu tahu Nabi Musa pun ada hendak melihatKu? Aku sinarkan cahayaKu sedikit sahaja dan dia jatuh pengsan dan Gunung Sinai runtuh menjadi tanah hitam."

Suatu ketika yang lain, semasa Rabi'atul-adawiyyah menuju Ka'abah dan sedang melalui hutan, dilihatnya Ka'abah datang mempelawanya. Melihatkan itu, beliau berkata, "Apa hendakku buat dengan Ka'abah ini; aku hendak bertemu dengan tuan Ka'abah (Allah) itu sendiri.
Bukankah Allah juga berfirman iaitu orang yang selangkah menuju Dia, maka Dia akan menuju orang itu dengan tujuh langkah? Aku tidak mahu hanya melihat Ka'abah, aku mahu Allah."

Pada masa itu juga, Ibrahim Adham sedang dalam perjalanan ke Ka'abah.
Sudah menjadi amalan beliau mengerjakan sembahyang pada setiap langkah dalam perjalanan itu. Maka oleh itu, beliau mengambil masa empat belas tahun baru sampai ke Ka'bah. Apabila sampai didapatinya Ka'abah tidak ada. Beliau sangat merasa hampa. Terdengar olehnya satu suara yang berkata, "Ka'abah itu telah pergi melawat Rabi'atul -adawiyyah." Apabila Ka'bah itu telah kembali ke tempatnya dan Rabi'atul-adawiyyah sedang menongkat badannya yang tua itu kepada kepada tongkatnya, maka Ibrahim Adham pun pergi bertemu dengan Rabi'atul-adawiyyah dan berkata "Rabi'atul-adawiyyah, kenapa kamu dengan perbuatanmu yang yang ganjil itu membuat haru-biru di dunia ini?" Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Saya tidak membuat satu apa pun sedemikian itu, tetapi kamu dengan sikap ria (untul mendapat publisiti) pergi ke Ka'abah mengambil masa empat belas tahun." Ibrahim mengaku yang ia sembahyang setiap langkah dalam perjalanannya. Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Kamu isi perjalananmu itu dengan sembahyang, tetapi aku mengisinya dengan perasaan tawaduk dan khusyuk."

Tahun kemudiannya, lagi sekali Rabi'atul-adawiyyah pergi ke Ka'abah.
beliau berdoa, "Oh Tuhan! Perlihatkanlah diriMu padaku." Beliau pun berguling-guling di atas tanah dalam perjalanan itu. Terdengar suara, "Rabi'atul-adawiyyah, hati-hatilah, jika Aku perlihatkan diriKu kepadamu, kamu akan jadi abu." Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Aku tidak berdaya memandang keagungan dan kebesaranMu, kurniakanlah kepadaku kefakiran (zahid) yang mulia di sisiMu." Terdengar lagi suara berkata, "Kamu tidak sesuai dengan itu. Kemuliaan seperti itu dikhaskan untuk lelaki yang memfanakan diri mereka semasa hidup mereka kerana Aku dan antara mereka dan Aku tidak ada regang walau sebesar rambut pun, Aku bawa orang-orang demikian sangat hampir kepadaKu dan kemudian Aku jauhkan mereka, apabila mereka berusaha untuk mencapai Aku. Rabi'atul-adawiyyah, antara kamu dan Aku ada lagi tujuh puluh hijab atau tirai. Hijab ini mestilah dibuang dulu dan kemudian dengan hati yang suci berhadaplah kepadaKu. Sia-sia sahaja kamu meminta pangkat fakir dari Aku."

Kemudian suara itu menyuruh Rabi'atul-adawiyyah melihat ke hadapan.
Dilihatnya semua pandangan telah berubah. Dilihatnya perkara yang luar biasa. Di awang-awangan ternampak lautan darah yang berombak kencang.
Terdengar suara lagi, "Rabi'atul-adawiyyah, inilah darah yang mengalir dari mata mereka yang mencintai Kami (Tuhan) dan tidak mahu berpisah dengan Kami. Meskipun mereka dicuba dan diduga, namun mereka tidak berganjak seinci pun dari jalan Kami dan tidak pula meminta sesuatu dari Kami. Dalam langkah permulaan dalam perjalanan itu, mereka mengatasi semua nafsu dan cita-cita yang berkaitan dengan dunia dan akhirat. Mereka beruzlah (memencilkan diri) dari dunia hingga tidak ada sesiapa yang mengetahui mereka. Begitulah mereka itu tidak mahu publisiti (disebarkan kepada umum) dalam dunia ini." Mendengar itu, Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Tuhanku! Biarkan aku tinggal di Ka'abah." Ini pun tidak diberi kepada beliau. Beliau dibenarkan kembali ke Basrah dan menghabiskan umurnya di situ dengan sembahyang dan memencilkan diri dari orang ramai.

Suatu hari Rabi'atul-adawiyyah sedang duduk di rumahnya menunggu ketibaan seorang darwisy untuk makan bersamanya dengan maksud untuk melayan darwisy itu, Rabi'atul-adawiyyah meletakkan dua buku roti yang dibuatnya itu di hadapan darwisy itu. Darwisy itu terkejut kerana tidak ada lagi makanan untuk Rabi'atul-adawiyyah. Tidak lama kemudian, dilihatnya seorang perempuan membawa sehidang roti dan memberinya kepada Rabi'atul-adawiyyah menyatakan tuannya menyuruh dia membawa roti itu kepada Rabi'atul-adawiyyah, Rabi'atul-adawiyyah bertanya berapa ketul roti yang dibawanya itu. Perempuan itu menjawab, "Lapan belas." Rabi'atul-adawiyyah tidak mahu menerima roti itu dan disuruhnya kembalikan kepada tuannya. Perempuan itu pergi.
Kemudian datang semula. Rabi'atul-adawiyyah menerima roti itu selepas diberitahu bahawa ada dua puluh ketul roti dibawa perempuan itu. Darwisy itu bertanya kenapa Rabi'atul-adawiyyah enggan menerima dan kemudian menerima pula. Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Allah berfirman dalam Al-Quran iaitu : "Orang yang memberi dengan nama Allah maka Dia akan beri ganjaran sepuluh kali ganda. Oleh itu, saya terima hadiah apabila suruhan dalam Al-Quran itu dilaksanakan."

Suatu hari Rabi'atul-adawiyyah sedang menyediakan makanan. Beliau teringat yang beliau tidak ada sayur. Tiba-tiba jatuh bawang dari bumbung. Disepaknya bawang itu sambil berkata, "Syaitan! Pergi jahanam dengan tipu-helahmu. Adakah Allah mempunyai kedai bawang?" Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Aku tidak pernah meminta dari sesiapa kecuali dari Allah dan aku tidak terima sesuatu melainkan dari Allah."

Suatu hari, Hassan Al-Basri melihat Rabi'atul-adawiyyah dikelilingi oleh binatang liar yang memandangnya dengan kasih sayang. Bila Hassan Al-Basri pergi menujunya, binatang itu lari. Hassan bertanya, "Kenapa binatang itu lari?" Sebagai jawapan, Rabi'atul-adawiyyah bertanya, "Apa kamu makan hari ini?" Hassan menjawab, "Daging." Rabi'atul- adawiyyah berkata, Oleh kerana kamu makan daging, mereka pun lari, aku hanya memakan roti kering."

Suatu hari Rabi'atul-adawiyyah pergi berjumpa Hassan Al-Basri. Beliau sedang menangis terisak-isak kerana bercerai (lupa) kepada Allah. Oleh kerana hebatnya tangisan beliau itu, hingga air matanya mengalir dilongkang rumahnya. Melihatkan itu, Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Janganlah tunjukkan perasaan sedemikian ini supaya batinmu penuh dengan cinta Allah dan hatimu tenggelam dalamnya dan kamu tidak akan mendapati di mana tempatnya."

Dengan penuh kehendak untuk mendapat publiksiti, suatu hari, Hassan yang sedang melihat Rabi'atul-adawiyyah dalam satu perhimpunan Aulia' Allah, terus pergi bertemu dengan Rabi'atul-adawiyyah dan berkata, "Rabi'atul-adawiyyah, marilah kita meninggalkan perhimpunan ini dan marilah kita duduk di atas air tasik sana dan berbincang hal-hal keruhanian di sana."

Beliau berkata dengan niat hendak menunjukkan keramatnya kepada orang lain yang ia dapat menguasai air (seperti Nabi Isa a.s. boleh berjalan di atas air). Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Hassan, buangkanlah perkara yang sia-sia itu. Jika kamu hendak benar memisahkan diri dari perhimpunan Aulia' Allah, maka kenapa kita tidak terbang sahaja dan berbincang di udara?" Rabi'atul-adawiyyah berkata bergini kerana beliau ada kuasa berbuat demikian tetapi Hassan tidak ada berkuasa seperti itu. Hassan meminta maaf. Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Ketahuilah bahawa apa yang kamu boleh buat, ikan pun boleh buat dan jika aku boleh terbang, lalat pun boleh terbang. Buatlah suatu yang lebih dari perkara yang luarbiasa itu. Carilah ianya dalam ketaatan dan sopan-santun terhadap Allah."

Seorang hamba Allah bertanya kepada Rabi'atul-adawiyyah tentang perkara kahwin. beliau menjawab, "Orang yang berkahwin itu ialah orang yang ada dirinya. Tetapi aku bukan menguasai badan dan nyawaku sendiri. Aku ini kepunyaan Tuhanku. Pintalah kepada Allah jika mahu mengahwini aku."

Hassan Al-Basri bertanya kepada Rabi'atul-adawiyyah bagaiman beliau mencapai taraf keruhanian yang tinggi itu. Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Aku hilang (fana) dalam mengenang Allah."

Beliau ditanya, "Dari mana kamu datang?"

Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Aku datang dari Allah dan kembali kepada Allah."

Rabi'atul-adawiyyah pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad S.A.W.
dan baginda bertanya kepadanya sama ada beliau pernah mengingatnya sebagai sahabat. Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Siapa yang tidak kenal kepada tuan? Tetapi apakan dayaku. Cinta kepada Allah telah memenuhi seluruhku, hinggakan tidak ada ruang untuk cinta kepadamu atau benci kepada syaitan."

Orang bertanya kepada Rabi'atul-adawiyyah, "Adakah kamu lihat Tuhan yang kamu sembah itu?

Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Jika aku tidak lihat Dia, aku tidak akan menyembahNya."

Rabi'atul-adawiyyah sentiasa menangis kerana Allah. Orang bertanya kepadanya sebab beliau menangis. rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Aku takit berpisah walau sedetik pun dengan Tuhan dan tidak boleh hidup tanpa Dia. Aku yakut Tuhan akan berkta kepadaku tatkala menghembuskan nafas terakhir - jauhkan dia dariKu kerana dia tidak layak berada di majlisKu."

Allah suka dengan hambaNya yang bersyukur apabila ia berusaha sepertimana ia bersyukur tatkala menerima kurniaNya (iaitu ia menyedari yang ia tidak sanggup berusaha untuk Allah tanpa pertolongan dan kurniaan Allah).

Seorang bertanya kepada Rabi'atul-adawiyyah, "Adakah Allah menerima taubat orang yang membuat dosa?"

Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Itu hanya apabila Allah mengurniakan kuasaNya kepada pembuat dosa itu yang ia digesa untuk mengakui dosanya dan ingin bertaubat. Hanya dengan itu Allah akan menerima taubatnya kerana dosa yang telah dilakukannya."

Salih Al-Qazwini selalu mengajar muridnya, "Siapa yang selalu mengetuk pintu rumah seseorang akhirnya satu hari pintu itu pasti akan dibuka untuknya." Satu hari Rabi'atul-adawiyyah mendengar beliau bercakap demikian. Rabi'atul-adawiyyah pun berkata kepada Salih, "Berapa lama kamu hendak berkata demikian menggunakan perkataan untuk masa depan (Futuretense) iaitu "Akan dibuka"? Adakah pintu itu pernah ditutup?
Pintu itu sentiasa terbuka." Salih mengakui kebenarannya itu.

Seorang hamba Allah berteriak, "Aduh sakitnya!" Rabi'atul-adawiyyah bertemu dengan orang itu dan berkata, "Oh! bukannya sakit." Orang itu bertanya kenapa beliau berkata begitu. Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Kerana sakit itu adalah satu nikmat bagi orang yang sangat mulia di sisi Allah. Mereka merasa seronok menanggung sakit itu."

Suatu hari rabi'atul-adawiyyah sedang melihat orang sedang berjalan dengan kepalanya berbalut. Beliau bertanya kenapa kepalanya dibalut.
Orang itu menjawab mengatakan ia sakit kepala. rabi'atul-adawiyyah bertanya, "Berapa umurmu?" Jawab orang itu, "Tiga puluh." Rabi'atul-adawiyyah bertanya lagi, "Hingga hari ini begaimana keadaanmu?" Kata orang itu, "Sihat-sihat shaja." Rabi'atul-adawiyyah pula berkata, "Selama tiga puluh tahun Allah menyihatkan kamu, tetapi kamu tidak mengibarkan bendera pada badanmu untuk menunjukkan kesyukuran kepada Allah, dan agar manusia bertanya kenapa kamu gembira sekali dan setelah mengetahui kurniaan Tuhan kepadamu, mereka akan memuji Allah.
Sebaliknya kamu, setelah mendapat sakit sedikit, membalut kepalamu dan pergi ke sana ke mari menunjukkan sakitmu dan kekasaran Tuhan terhadapmu. Kenapa kamu berlaku sehina itu!"

Suatu hari khadamnya berkata, "Puan, keluarlah dan mari kita melihat keindahan kejadian Tuhan di musim bunga ini.' Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Duduklah dalam rumah seperti aku berseorangan dan melihat yang menjadikan. Aku lihat Dia dan bukan kejadianNya."

Suatu hari, orang bertanya kepada Rabi'atul-adawiyyah kenapa beliau tidak menyimpan pisau dalam rumahnya. Beliau menjawab, "Memotong itu adalah kerja pisau. Aku takut pisau itu akan memotong pertalian aku dengan Allah yang ku cintai."

Suatu masa Rabi'atul-adawiyyah berpuasa selama lapan hari. Pada hari terakhir, beliau merasa lapar sedikit. Datang seorang hamba Allah membawa minuman yang manis dalam sebuah cawan. Rabi'atul-adawiyyah ambil minuman itu dan meletakkannya di atas lantai di satu penjuru rumahnya itu. Beliau pun pergi hendak memasang lampu. Datang seekor kucing lalu menumpahkan minuman dalam cawan itu. Melihat itu, terfikirlah Rabi'atul-adawiyyah hendak minum air sahaja malam itu.
Tatkala ia hendak mencari bekas air (tempayan), lampu pun padam. Bekas air itu jatuh dan pecah airnya bertaburan di atas lantai.
Rabi'atul-adawiyyah pun mengeluh sambil berkata, "Tuhanku! Kenapa Kau lakukan begini kepadaku?"

Terdengar suara berkata, "Rabi'atul-adawiyyah, jika kamu hendakkan kurnia dunia, Aku boleh berikan padamu, tetapi akan menarik balik darimu siksaan dan kesakitan yang Aku beri padamu. Kurnia dunia dan siksaan Aku tidak boleh duduk bersama-sama dalam satu hati.
Rabi'atul-adawiyyah, kamu hendak satu satu perkara dan Aku hendak satu perkara lain. Dua kehendak yang berlainan tidak boleh duduk bersama dalam satu hati."

Dengan serta-merta beliau pun membuangkan kehendak kepada keperluan hidup ini, seperti orang yang telah tidak berkehendakkan lagi perkara-perkara dunia ini semasa nyawa hendak bercerai dengan badan.
Tiap-tiap pagi beliau berdoa, "Tuhan! Penuhilah masaku dengan menyembah dan mengingatMu agar orang lain tidak mengajakku dengan kerja-kerja lain."

Rabi'atul-adawiyyah ditanya, "Kenapa kamu sentiasa menangis-nangis?"

Beliau menjawab, "Kerana ubat penyakit ini ialah berdampingan dengan Tuhan."

"Kenapa kamu memakai pakainan koyak dan kotor?" Beliau ditanya lagi, "Kamu ada kawan yang kaya, dan dia boleh memberimu pakaian baru." Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Aku berasa malu meminta perkara dunia dari sesiapa pun yang bukan milik mereka kerana perkara-perkara itu adalah amanah Allah kepada mereka dan Allah jua yang memiliki segala- galanya."

Orang berkata, "Rabi'atul-adawiyyah, Tuhan mengurniakan ilmu dan kenabian kepada lelaki, dan tidak pernah kepada perempuan, tentu kamu tidak dapat mencapai pangkat kewalian yang tinggi itu (kerana perempuan). Oleh itu apakah faedahnya usaha kamu menuju ke taraf tersebut?"

Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Apa yang kamu kata itu benar, tetapi cubalah ketakan kepadaku siapakah perempuannya yang telah mencapai taraf kehampiran dengan Allah dan lalu berkata, "Akulah yang hak".
Di samping itu tidak ada orang kasi yang perempuan. Hanya didapati dalam kaum lelaki sahaja."

Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Seorang perempuan yang sentiasa bersembahyang kerana Allah adalah lelaki dan bukan perempuan."

Satu hari Rabi'atul-adawiyyah jatuh sakit. Orang bertanya kepadanya sebab ia sakit. Beliau berkata, "Hatiku cenderung hendak mencapai Syurga, sayu hari yang lampau. Kerana itu, Allah jatuhkan sakit ini sementara sebagai hukuman."

Hassan Al-Basri datang berjumpa Rabi'atul-adawiyyah yang sedang sakit.
Di pintu rumah beliau itu, Hassan bertemu dengan Amir Al-Basri yang sedang duduk dengan sebuah bag mengandungi wang. Amir itu menangis.
Apabila ditanya kenapa beliau menangis, beliau menjawab, "Aku hendak menghadiahkan wang kepada Rabi'atul-adawiyyah, tetapi aku tahu dia tidak akan menerimanya. Kerana itulah aku menangis. Bolehkah kamu menjadi pengantara dan meminta dia menerima hadiahku ini?" Hassan pun pergilah membawa wang itu kepada Rabi'atul-adawiyyah dan meminta beliau menerima wang itu. Tetapi Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Oleh kerana aku telah kenal Allah, maka aku tidak lagi mahu bersembang dengan manusia dan tidak menerima hadiah dari mereka dan juga tidak mahu memberi apa-apa kepada mereka. Di samping itu aku tidak mahu sama ada wang itu didapatinya secara halal atau haram."

Sufyan Al-Thauri berkata, "Kenapa kamu tidak memohon kepada Allah untuk menyembuhkan kamu?" Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Kenapa aku merungut pula kerana itu hadiah Allah bagiku. Bukankah salah jika tidak mahu menerima hadiah Tuhan? Adakah bersahabat namanya jika kehendak sahabat itu tidak kita turuti?"

Malik bin Dinar pergi mengunjungi Rabi'atul-adawiyyah satu hari.
Dilihatnya dalam rumah Rabi'atul-adawiyyah satu balang yang pecah dan mengandungi air untuk minum dan mengambil wuduk, satu bata sebagai bantal dan tikar yang buruk sebagai alas tempat tidur. Malik berkata, "Jika kamu izinkan, boleh aku suruh seorang kawanku yang kaya memberimu semua keperluan harian." Rabi'atul-adawiyyah menjawab, "Adakah satu Tuhan yang menanggung aku, dan Tuhan lain pula menanggung kawanmu itu? Jika tidak, adakah Tuhan lupa kepadaku kerana aku miskin dan ingat kepada kawanmu itu kerana ia kaya? Sebenarnya Allah itu tidak lupa kepada siapa pun. Kita tidak perlu memberi ingat kepada Tuhan itu. Dia lebih mengetahui apa yang baik untuk kita. Dia yang memberi kurnia dan Dia juga yang menahan kurnia itu."

Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Orang yang cinta kepada Allah itu hilang dalam melihat Allah hingga kesedaran kepada yang lain lenyap darinya dan Dia tidak boleh membezakan mana sakit dan mana senang."

Seorang Wali Allah datang dan merungut tentang dunia.
Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Nampaknya kamu sangat cinta kepada dunia, kerana orang yang bercakap tentang sesuatu perkara itu tentulah dia cenderung kepada perkara tersebut."

Satu hari, Sufyan Al-Thauri pergi berjumpa Rabi'atul-adawiyyah.
Rabi'atul-adawiyyah menghabiskan masa malam itu dengan sembahyang.
Apabila sampai pagi, beliau berkata, "Pujian bagi Allah yang telah memberkati kita dapat sembahyang sepanjang malam. Untuk tanda kesyukuran, marilah kita puasa pula sepanjang hari ini."

Rabi'atul-adawiyyah selalu berdoa demikian, "Tuhanku! Apa sahaja yang Engkau hendak kurnia kepadaku berkenaan dunia, berikanlah kepada musuhku dan apa sahaja kebaikan yang Engkau hendak kurnia kepadaku berkenaan akhirat, berikanlah kepada orang-orang yang berIman, kerana aku hanya hendakkan Engkau kerana Engkau. Biarlah aku tidak dapat Syurga atau Neraka. Aku hendak pandangan Engkau padaku sahaja."

Sufyan Al-Thauri menghabiskan masa sepanjang malam bercakap-cakap tentang ibadat kepada Allah dengan Rabi'atul-adawiyyah. Di pagi hari Al-Thauri berkata, "Kita telah menghabiskan masa malam tadi dengan sebaik-baiknya." Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Tidak, kita habiskan masa dengan sia-sia kerana sepanjang percakapan itu kamu berkata perkara-perkara yang memuaskan hatiku sahaja dan aku pula memikirkan perkara yang kamu sukai pula. Masa itu kita buang tanpa mengenang Allah.
Adalah lebih baik jika aku duduk seorang diri dan menghabiskan masa malam itu dengan mengenang Allah."

Rabi'atul-adawiyyah berkata, "Doaku padaMu ialah sepanjang hayatku berilah aku dapat mengingatMu dan apabila mati kelak berilah aku dapat memandangMu."

Wallahu ta'ala a'lam.......

Khaulah binti Malik bin Tsa'labah

Dia seorang wanita yang fasih dan indah perkataannya. Dia
selalu berhubungan dengan Allah SWT. Tidak kehilangan imannya kepada
Allah di saat-saat yang paling sulit. Akan tetapi dia mengadukan ke-
pada Allah dan Rasul-Nya. Kami ketengahkan kisah Khaulah bersama su-
aminya di hadapan para suami dan isteri ketika terjadi perselisihan,
perdebatan, perbantahan dan pertengkaran.

Khaulah berkata :"Demi Allah, mengenai aku dan Aus bin Shamit,
Allah Azza wa Jalla menurunkan awal surah Al Mujaadilah. Dia berkata :
"Ketika itu aku sedang berada di dekatnya. Dia adalah orang tua yang
buruk kelakuannya dan sudah jemu." Khaulah berkata :"Pada suatu hari
dia masuk kepadaku, lalu aku membantahnya karena sesuatu hal sehingga
dia marah dan berkata :"Engkau terhadapku seperti punggung ibuku."
Kemudian dia keluar, lalu duduk di tempat pertemuan kaumnya sesaat,
setelah itu dia masuk dan menginginkan diriku. Maka aku katakan :
Sekali-kali jangan. Demi Allah yang menguasai nyawaku, jangan lolos
kepadaku sementara engkau telah mengatakan apa yang engkau katakan,
hingga Allah dan Rasul-Nya memberi keputusan tentang kita."

Khaulah berkata : "Dia memaksaku, namun aku menolak. Aku
berhasil mengalahkannya, sebagaimana halnya wanita yang berhasil
mengalahkan laki-laki tua, maka aku berhasil menyingkirkannya dariku.
Kemudian aku keluar menemui Rasulullah SAW, lalu duduk di hadapan
beliau dan aku ceritakan kepada beliau perlakuan sang suami terhadap
diriku. Aku adukan kepada beliau perlakuan buruk yang aku terima dari
suamiku." Khaulah berkata :"Rasulullah SAW hanya bersabda :"Wahai,
Khuwailah, putera pamanmu seorang tua yang sudah lanjut usianya, maka
takutlah engkau kepada Allah."

Khaulah berkata :"Demi Allah, begitu aku pergi, turun Al-
Qur'an mengenai diriku. Rasulullah SAW mengalami sesuatu yang biasa
dialaminya, kemudian terbebas darinya. Maka beliau bersabda :"Wahai
Khuwailah, Allah telah menurunkan wahyu mengenai dirimu dan temanmu.
Kemudian beliau membacakan surah Al Mujaadilah :
"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya)
kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguh
nya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Orang-orang yang menzihar isterinya di antara kamu, (menganggap
isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka.
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan
sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang
mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Orang-orang yang menzihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, mereka (wajib atasnya) memerde-
kakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah
yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerja-
kan.
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa
yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah
hukum-hukum Allha; bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih."
(Q.S. Al-Mujaadilah, 58:1-4)

Khaulah berkata :"Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Suruhlah
dia membebaskan seorang budak. Maka aku katakan : Demi Allah, wahai
Rasulullah, dia tidak punya budak untuk dibebaskan. Nabi SAW bersabda :
Suruhlah dia berpuasa dua bulan berturut-turut. Maka aku katakan : Demi
Allah, sesungguhnya dia seorang tua renta yang tidak berdaya. Nabi SAW
bersabda : Suruhlah dia memberi makan orang miskin sebanyak 60 sha' kurma.
Maka aku katakan : Wahai, Rasulullah, dia tidak mempunyai makanan sebanyak
itu. Maka Rasulullah SAW bersabda : Kami akan membantumu dengan serangkai
kurma. Maka aku katakan : Wahai Rasulullah, aku akan membantunya dengan
serangkai kurma lagi. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Engkau berbuat
benar dan baik. Pergilah dan sedekahkan kurma itu baginya, kemudian per-
lakukan putera pamanmu dengan baik. Maka aku pun melakukannya."
["Al-Ishaabah, juz 8, halaman 618-620]

Inilah dia, Khaulah. Di dalam kisahnya terdapat pelajaran tentang
kerukunan hidup suami isteri dan keikutsertaan dalam memperbaiki perpecah-
an dan pemeliharaan hubungan kerabat serta ketuaan usia antara suami isteri.
Diriwayatkan, bahwa Umar bin Khaththab r.a. berjumpa dengannya di masa khi-
lafahnya, ketika dia sedang menunggang seekor keledai dan orang-orang di
sekelilingnya. Kemudian Khaulah menyuruhnya berhenti dan menasihatinya.
Lalu dikatakan kepada Umar r.a. :"Apakah engkau bersikap demikian terhadap
perempuan tua ini ?" Umar berkata :"Tahukah kalian, siapa wanita tua ini ?
Dia adalah Khaulah binti Tsa'labah. Allah SWT mendengar perkataannya dari
atas tujuh lapis langit. Apakah Tuhan semesta alam mendengar perkataannya,
sedangkan Umar tidak mendengarnya ?" [Husnul Uswah bimaa Tsabata Minallaahi
wa Rasuulihi fin Niswah]

Khaulah tidak mengandalkan kekerasan dan tidak berpikir mengenai
kejahatan, karena itu bukan akhlaq Islam. Akan tetapi dia mencari penye-
lesaian di sisi Allah dan Rasul-nya, dan mengadukan perkaranya kepada
Allah SWT yang menciptakannya, agar menghilangkan kesusahannya dan memberi
kemudahan sesudah kesulitan. Jika Anda ingin mendengarnya ketika menyampai-
kan keluhan kepada Rasulullah SAW, maka marilah kita baca hadits yang di-
riwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al-Hakim, dan disahihkannya, dan Baihaqi
serta lainnya dari 'Aisyah r.a., dia berkata :

"Maha Suci Allah yang pendengaran-Nya mendengar segala sesuatu.
Sungguh aku mendengar perkataan Khaulah binti Tsa'labah dan sebagiannya
tidak bisa kudengar ketika dia mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW
dan berkata : Wahai Rasulullah, dia menghabiskan masa mudaku dan aku
banyak melahirkan anak untuknya. Setelah usiaku menjadi tua dan aku ber-
henti melahirkan, dia melakukan zihar terhadapku. Ya, Allah, aku mengeluh
kepada-Mu."

Khaulah berkata :"Begitu aku pergi, Jibril a.s. turun membawa ayat-
ayat ini." [Surah Al-Mujaadilah]

Nabi SAW telah berwasiat agar memperlakukan para wanita dengan baik
dan beliau adalah teladan tertinggi dalam memperlakukan isteri-isterinya.
Nabi SAW bersabda mengenai hal itu : "Tidaklah orang Mu'min mendapat faedah
sesudah taqwa kepada Allah yang lebih baik daripada isteri yang sholeh. Jika
dia menyuruhnya, maka sang isteri menaatinya. Jika dia memandang kepadanya,
sang isteri menyenangkannya. Jika dia bersumpah kepadanya, maka sang isteri
melakukannya. Jika dia tidak ada di rumah, sang isteri memelihara harta dan
kehormatan suaminya." Nabi SAW bersabada : "Orang Mu'min yang paling sempur-
na imannya ialah yang terbaik akhlaqnya, dan sebaik-baik kamu adalah yang
terbaik terhadap isterinya." ["Kanzul 'Ummaal (9/258-261)]

Nabi SAW juga bersabda dalam akhir sebuah khotbahnya :"Perlakukan
para wanita dengan baik." Dari Amru Ibnul Ahwash di sebuah hadits panjang
dalam menceritakan haji Wada', dari Nabi SAW, beliau bersabda :"Perlakukan-
lah para isteri dengan baik, karena mereka adalah tawanan pada kalian. Ka-
lian tidak berkuasa sedikit pun atas mereka selain itu, kecuali jika mereka
melakukan perbuatan keji. Jika mereka melakukannya, maka jauhilah mereka
dengan pukukan yang tidak menyakitkannya.

Jika mereka taat kepada kalian, maka janganlah mencari jalan untuk
menyakiti hati mereka. Ketahuilah, bahwa kamu mempunyai hak pada isteri-
isterimu dan isteri-isterimu mempunyai hak kepada kalian. Adapun hak kalian
pada isteri-isterimu, maka mereka tidak boleh mengizinkan orang-orang yang
tidak kalian sukai menginjak tempat tidurnya dan tidak boleh mengizinkan
orang-orang yang tidak kamu sukai memasuki rumah-rumah kalian. Ketahuilah,
sesungguhnya hak mereka pada kalian adalah kalian beri pakaian dan makanan
yang baik kepada mereka." (HR. Tirmidzi dan disahihkannya)